Sejarah Pura Besakih - Pura Besakih merupakan sebuah kompleks Pura terbesar di Bali yang memiliki berbagai macam pura yang tersebar di kawasan Pura Besakih. Pura ini berlokasi di desa besakih, kecamatan rendang, karangasem, bali.
Sebelum terbentuk menjadi Pura yang besar dan semegah ini, tentunya terdapat asal muasal ataupun sejarah pembangunan dari Pura Besakih ini. Konon katanya, pembangunan Pura Besakih ini diperkirakan di mulai pada tahun 163 Masehi (dikutip dari situs inputbali.com), namun kebenarannya masih belum bisa dipastikan karena belum dipastikannya lontas mana yang menyebutkan tahun pembangunan Pura Besakih.
Nah kali ini kami akan mencoba menjelaskan bagaimana sejarah pembangunan pura besakih yang disebut-sebut sebagai ibu dari semua pura yang ada di bali ini. Sejarah ini kami kutip dari berbagai sumber yang menjadi refrensi kami dalam pembuatan artikel ini.
Sejarah Pura Besakih
Sebeumnya, ketika pulau bali dan pulau jawa belum terpisahkan oleh sebuah selat (Segara Rupek / Selat Bali). Dimana orang-orang masih bebas ber imigrasi hanya dengan berjalan kaki dari pulau jawa ke pulau bali. Disaat itu pula, di daerah bali (tempat pura besakih sekarang ini) masih hanya terdapat hutan belantara yang lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas yang mematikan.
Tersebutlah seorang Rsi yang berasal dari India yang memiliki banyak pengikut dari Gunung Rawang (sekarang menjadi Gunung Raung) , jawa timur. Beliau adalah Rsi Markandeya yang oleh para pengikutnya yang tinggal di kaki gunung Rawang disebut Batara Giri Rawang. Rsi Markandeya telah melakukan banyak pertapaan di banyak tempat di pulau jawa, Ketika beliau bertapa di Gunung Hyang ( Yang sekarang dikenal sebagai gunung DIYENG, Jawa tengah) beliau mendapatkan sebuah wahyu (Pencerahan dari tuhan) agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan yang ada di Pulau Dawa dan membagi-bagikan wilayah kepada para pengikutnya.
Hal itupun dilaksanakan oleh Rsi Markandeya, beliau membawa 8.000 pengikut yang siap untuk merabas luasnya hutan belantara dikala itu. Ketika rombongan sampai di sebuah wilayah yang dianggap baik, maka mulailah para rombongan merabas hutan dan meratakan wilayah yang akan menjadi tempat tinggal mereka.
|
Ilustrasi Rsi Markandeya |
Namun selama perabasan hutan, hal buruk terjadi kepada para rombongan. Mereka mendapatkan musibah yang bermacam-macam mulai dari kecelakaan dalam bekerja, diterkam binatang liar hutan sampai terserang penyakit yang berujung pada kematian. Melihat keanehan tersebut, akhirnya Rsi Markandeya bergegas untuk menghentikan perembahan hutan dan mengajak para pengikutnya untuk kembali ke Gunung Rawang.
Baca Juga : Tentang Pura Besakih -Pura Terbesar Di Bali
Di Gunung Rawang, Rsi markandeya kembali melakukan yoga untuk mendapatkan petunjuk dari apa yang dialami oleh para pengikutnya. Akhirnya di hari yang tepat (Dewasa Ayu) Rsi Markandeya kembali menuju pulau Dawa namun kini dengan 4.000 pengikut dari kaki gunung rawang. Mereka membawa alat-alat pertanian dan juga bibit-bibit tanaman yang nantinya akan ditanam di wilayah baru mereka.
Sesampainya di tempat yang dituju, Rsi Markandeya bersama para pengikutnya melakukan yoga dan mempersembahkan yadnya (upacara suci hindu) yakni Dewa Yadnya dan Butha Yadnya. Kemudian setelah selesai melakukan yadnya, beliau memerintahkan para pengikutnya untuk kembali merabah hutan yang akan dijadikan tempat mereka tinggal.
Setelah wilayah dirasa cukup untuk mereka tinggal dan bercocok tanam, sang yogi markandeya akhirnya menghentikan perambahan hutan. Para pengikutnya pun tidak ada yang terluka apalagi meninggal dunia terkena musibah. Kemudian Rsi Markandeya membagi-bagikan wilayah kepada para pengikutnya untuk dijadikan pemukiman dan persawahan.
Ditempat itu pula, Rsi Markandeya menanam Kendi (payuk) berisi air dibarengi dengan Panca Datu (5 jenis logam) yakni emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata mirah adi (Permata Utama). Penanaman itu dilakukan diiringi dengan upakara (banten) dan diakhiri dengan tirta pengentas (Air Suci).
Di Tempar dimana penanaman panca datu dan permata mirah adi ditanam, diberi nama wasuki (basuki) yang artinya selamat. Karena pada perambahan hutan yang kedua, tidak terdapat halangan yang membuat para pengikut Rsi Markandeya terluka. Ditempat itu pula didirikan pelinggih yang lambatlaun tempat itu kemudian didirikan pura atau kahyangan yang diberi nama Basukian. Pura inilah yang kemudian berkembang dan didirikan pura-pura lainnya yang akhirnya menjadi kompleks Pura dan lama kelamaan diucapkan Pura Besakih. Pembangunan Pura-Pura yang ada di Besakih dilakukan secara bertahap, begitupun dengan perawatannya. Ketika terjadi Gunung Meletus di Gunung Agung, Pura Besakih hanya mengalami sedikit kerusakan, berikutnya juga disusul gempa-gempa yang sampai sekarang masih berjalan perawatan dan pemugarannya.
Demikianlah sedikit kutipan dari
Lontar Markandeya Purana tentang asal mula dan
sejarah dari desa dan pura besakih yang masih ada sampai sekarang ini.
Sumber Refrensi :www.babadbali.cominputbali.com